Judul: "Tolong Jangan Terlalu Berani, MK! Kami Takut Caleg Menangis" Mampukah Mahkamah Konstitusi (MK) menangani perkara uji materi tentang sistem pemilu dengan sungguh-sungguh? Para caleg yang menjadi korban sistem proporsional terbuka alias coblos tanpa relawan ikut menangis, lho. Jangan terlalu berani mempersoalkan wewenang MK untuk menguji sistem pemilu, bisa-bisa malah membuat kerugian buat para caleg yang sudah merogoh kocek untuk kampanye. MK tentu memproses dengan adil dan bijaksana saat menguji UU pemilu, namun perlu diingat bahwa berkembangnya teknologi harus tetap disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik di tanah air. Meski orang-orang menyambut positif kehadiran teknologi dalam pemilu namun kita harus jeli merespons kecenderungan tatap muka yang semakin berkurang. Sistem proporsional terbuka yang diperkenalkan sejak pemilu 2009 memang memberikan ruang kepada masyarakat untuk memilih caleg secara langsung tanpa bergantung pada partai politik. Namun, kebijakan itu juga memicu munculnya paradoks politik dimana caleg yang lebih dulu dikenal dan punya modal finansial yang cukup bisa saja meraih suara lebih banyak meski kompetensi dan integritasnya tidak diuji. Jadi, anggap saja pemilu di Indonesia adalah sebuah pentas teater. Masyarakat memilih pertunjukkan yang menarik bagi mereka. Kemudian, MK selaku penonton memberikan penilaian dan ulasan atas kualitas pertunjukkan tersebut. Tetapi, jangan sampai mengganggu kerugian caleg. Karena, jika para caleg itu merugi dan akhirnya menjadi korban dari sistem proporsional terbuka, bisa saja mereka akan memilih untuk tidak mengikuti pemilu berikutnya. Oleh sebab itu, MK tentu harus bisa menemukan solusi yang bijaksana agar pemilu bisa berlangsung secara adil, dan caleg pun tidak merugi lagi.